Gara bukanlah tipe cowok yang suka menarik perhatian, tapi entah kenapa, semua mata selalu tertuju padanya. Ia seperti bayangan dingin di tengah keramaian, tenang, namun memancarkan aura tak terbantahkan.
Setiap sore, ia akan duduk di sudut kafe "Aurora," tempat yang agak tersembunyi dari hiruk pikuk jalanan. Meja bundar dekat jendela dengan pemandangan ke arah jalanan yang mulai gelap adalah singgasananya. Ia tak pernah membawa laptop, tak pernah menelpon, hanya sebuah buku bersampul lusuh yang selalu menemani. Pakaiannya selalu sederhana—kaos hitam polos, jaket denim yang sudah agak pudar, dan celana jeans—tapi entah bagaimana, pakaian itu terlihat sempurna di tubuhnya yang ramping namun berisi.
Sikapnya adalah esensi dari kata cool. Gerakannya ekonomis, tak ada yang sia-sia. Cara ia memegang cangkir kopi hitam tanpa gula itu, cara ia membalik halaman buku tanpa tergesa, bahkan cara ia diam, semuanya terasa penuh perhitungan.
Suatu hari, Lana, seorang barista baru di kafe itu, tak sengaja menjatuhkan nampan di dekat mejanya. Suara dentingan gelas pecah memecah keheningan sore. Semua orang menoleh, Lana membeku karena malu dan panik.
Gara hanya mendongak sebentar. Ekspresinya tetap datar, namun ia langsung meletakkan bukunya, bangkit, dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia berjongkok. Ia tak langsung menyentuh pecahan kaca, melainkan mengambil serbet bersih di meja sebelahnya dan menggunakannya untuk menyingkirkan serpihan terbesar ke sisi aman. Ia melakukannya dengan cekatan dan hati-hati, memastikan tidak ada potongan tajam yang luput.
"Biar saya saja, Mas. Maaf sekali," Lana berbisik, wajahnya memerah.
Gara akhirnya membuka suara, r.suaranya rendah dan serak, hampir seperti bisikan, tapi jelas terdenga "Pecahan kaca jangan disapu pakai tangan kosong. Tarik napas."
Ia berdiri setelah memastikan lantai cukup bersih untuk diinjak, menatap Lana sekilas dengan tatapan yang sulit diartikan—bukan marah, bukan iba, melainkan hanya... mengamati. Lalu, ia mengambil cangkir barunya yang baru saja diantarkan Lana, dan kembali ke tempat duduknya, melanjutkan membaca seolah tak ada yang terjadi.
Lana hanya bisa terdiam, jantungnya berdebar bukan karena rasa malu, tapi karena interaksi singkat yang dingin namun anehnya menenangkan itu. Sikap cool Gara bukanlah berarti ia tak peduli; itu hanya berarti ia mengatasi kekacauan dengan ketenangan tanpa perlu drama atau kata-kata berlebihan. Sejak saat itu, Lana tak pernah berhenti memandangi sudut kafe itu setiap kali Gara datang. Ia menyadari, ada kehangatan tersembunyi di balik ketenangan yang membeku itu.
Gara :suaranya rendah dan serak, hampir seperti bisikan, tapi jelas terdenga
"Kopi hitam pahit satu"
Lana :suaranya sopan dan sangat lembut
"Siap kak atas nama siapa??"
Gara :"Gara..."
Lana :"Oke kak nanti di panggil silahkan duduk"
Gara :"........"
*pergi mencari tempat duduk*
Lana :"Atas nama Garaaa"
Gara :*berjalan menuju barista dan menggambil kopinya*
Lana :"Terimakasih kak selamat menikmati"
Gara :"...."
Gara :*berjalan menuju meja sambil membawa kopinya*
Gara :*membuka leptop nya dan mengetik sesuatu*
SATU JAM KEMUDIA
Gara :*meminum kopi pahitnya sambil menatap ke luar jendela*
Lana :*berjalan menuju Gara*
Lana :"Hallo kak Gara boleh kah aku duduk di sini??"
Gara :"Ada urusan apa ya kak??"
Lana :"Tidak kak hanya mau bicara"
Gara :"Ouh silahkan duduk"
Lana :*duduk di tempat duduk depan Gara*
Lana :"Terimakasih ya kak atas bantuan kemarin"
Gara :"Bukan masalah besar jadi tidak perlu trimakasih"
Lana :"Tidak kak sama aja jadi harus terimakasih"
Lana :"Omong omong nama kakak siapa??"
Gara :"GARA AGASTRA biasa di panggil gara"
Lana :"Kalo aku LANA LAUNZRA bisa di panggil lana"
Gara :BICARA DALAM HATI "Gak tanya"
Gara :"Oke
No comments:
Post a Comment